“Suatu saat nanti, kamu akan tau, siapa yang menyayangimu
tanpa menghitung waktu.”
Aku, berdiri pada pijakanku yang tak bertepi. Aku bukan
mengharapkanmu kembali dan memelukku lagi.
Beberapa suara memang terdengar
sedang mengatakan itu, tapi dalam kesungguhan, bukan aku yang menyuarakannya.
Kamu selalu bertanya tentang mengapa aku mempersilakanmu pergi, tentang apakah
aku sudah tidak memperdulikanmu lagi, dan tentang mengapa aku tidak menagih
sebuah janji.
Ketika aku mempersilakanmu pergi, hanya satu hal yang terpikir
olehku. Betapa bahagianya kamu nanti, setelah kamu merasakan penyesalan yang
mendalam, lalu mempelajari, dan memahaminya. Agar suatu saat nanti, jika kau
dipertemukan dengan hal yang sama, kamu tidak lagi mengulanginya.
Ini sungguh
menyimpang dari kenyataan, tentang kepedulianku terhadapmu yang kau anggap
adalah ketidakpedulianku kepadamu.
Pernahkah terbayang olehmu, soal sudah
berapa banyak waktu yang ku buang untuk mencintaimu disaat aku tidak ingin lagi
menghitungnya? Pertanyaan terakhirmu sungguh menggelitik, aku tidak ingin
menjawabnya. Janjiku yang mana yang baru aku tepati setelah mendapat tagihan
darimu? Sudahlah, nikmati saja ketiadaanku. Ini keputusanmu.
"Saat ini mungkin tidak. Tapi nanti, tentang seringnya aku
memelukmu; dulu, akan dengan tiba-tiba menghantuimu. Dan kerinduanmu
terhadapku, bermula dari situ.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar